​Buku dan Kesulitan Memilih

Menentukan pilihan itu sulit. Setidaknya itulah yang saya alami sekarang. Saya sulit menentukan lima buah buku terbaik yang saya baca yang merupakan tema hari ketiga di #15harimenulis ini. Namun, terlepas dari kesulitan itu saya menganggap semua buku bagus bergantung dari cara kita menafsirkan buku tersebut. Akhirnya, tanpa mengurangi kebagusan dari buku-buku lain yang telah saya baca sebelumnya, saya persembahkan beberapa buku yang menurut saya baik untuk dibaca.
1. Sang Alkemis karya Paulo Coelho

Novel ini adalah novel pertama  yang membuat saya membacanya dua kali. Ceritanya menunjukkan tentang Santiago seorang gembala yang rajin membaca buku dan juga seorang pencerita. Suatu malam, Santiago bermimpi mendapatkan harta karun. Tak hanya sekali mimpi itu datang. Ia pun mencari tahu arti dari mimpinya tersebut. Berbagai cara ia lakukan, bertemu dengan perempuan gipsi sampai bertemu seorang raja bernama Melkisedek untuk mendapatkan petunjuk atas mimpinya. Dalam menggapai mimpinya, banyak sekali masalah yang dihadapi Santiago. Mulai dari ia ditipu, bekerja di sebuah toko kristal, bertemu Fatima perempuan yang membuatnya jatuh cinta, sampai bertemu dengan pemimpin perang yang hampir membunuhnya. Santiago adalah representasi manusia yang tak menyerah untuk mewujudkan mimpi yang ia percaya sekalipun banyak sekali rintangan yang dihadapi. Jadi, belajar dari kisah Santiago bahwa memang benar proses tidak akan mengkhianati hasil. Jika masih penasaran dengan kisah Santiago, silakan dibaca buku Sang Alkemis ini.

2. Merahnya Merah karya Iwan Simatupang

Kalau biasanya tokoh yang ada di dalam sebuah cerita diberi nama sesuai jabatan, sesuai peran, atau nama pada umumnya. Namun, tokoh utama dalam novel ini diberi nama Tokoh Kita. Mengapa nama tokohnya Tokoh Kita? Asumsi saya adalah pengarang ingin membuat pembacanya ikut merasa menciptakan tokoh sentral yang ada di dalam novel ini.

Alur yang disajikan dalam novel ini bukan alur yang sama seperti dalam roman Siti Nurbaya. Alur yang digunakan adalah alur maju mundur atau alur zigzag. Jadi, sebagai pembaca kita mau tak mau harus mampu sambung-menyambungkan kejadiankejadian yang ada di dalamnya. Dalam novel ini, kita akan mendapati Tokoh Kita yang gelandangan, tetapi idealis.

3. Puya ke Puya karya Faisal Oddang

Saya selalu tertarik membaca buku yang kental dengan nuansa lokalitas daerah, terutama Sulawesi Selatan. Salah satu yang membuat saya tertarik adalah novel Puya ke Puya ini. Di novel ini saya banyak tahu tentang Toraja, tentang rambu solo (upacara kematian), tentang bayi yang dikubur di pohon Tarra, dan banyak lagi tentang Toraja yang saya tahu lewat novel ini. Penyajian novel ini dibagi menjadi tiga pencerita, Rante Ralla, Allu Ralla, dan Maria Ralla. Ketiganya memiliki hubungan bapak dan anak (kakak dan adik). Pertentangan pemikiran tentang budaya antara golongan tua dan golongan muda menjadi salah satu konflik dalam novel ini.

4. Namaku Matahari karya Remy Silado

Mata Hari adalah seorang tokoh perempuan yang memiliki keturunan Indonesia dan telah jatuh cinta pada Indonesia. Walaupun dia lahir di Belanda dengan nama Margaretha Geertruida, ia begitu kagum dengan kata matahari sehingga mengganti namanya menjadi Mata Hari. Mata Hari adalah seorang istri yang dikhianati oleh suaminya. Selain itu,  karena kecintaannya terhadap tari, ia pun menekuni profesi sebagai penari erotis. Dengan profesinya itu, ia juga sekaligus menjadi agen ganda Prancis dan Jerman dan akhirnya tertangkap dan diberi hukuman mati. Walaupun profesinya sebagai penari erotis (dia lebih suka dengan sebutan penari eksotis), ia adalah gambaran perempuan yang cerdas. Sebagai ibu, dia juga penuh kasih sayang. Seorang perempuan yang memilih hidup merdeka. Dalam novel ini pun akan banyak ditemui katakata yang jarang kita dengar. Jadi, siapkan KBBI ya sebelum membaca novel ini.

5. Kumpulan Puisi Kepalaku Kantor Paling Sibuk di Dunia Karya Aan Mansyur

Keempat buku yang saya sebutkan di atas, semuanya adalah novel. Nah, izinkanlah saya menutup tulisan ini dengan buku kumpulan puisi dari Aan Mansyur. Mengapa memilih buku ini masuk jajaran buku yang baik yang pernah saya baca? Jawabannya saya telah jatuh cinta dengan beberapa puisi yang ada di dalamnya. Saya tak mau membahas isi dari buku puisi ini karena sudah pernah saya tuliskan di blog ini. Selain itu, saya ingin membuat kamu penasaran dengan buku ini.
Selamat Membaca!
#15harimenulis

Rupa Makassar dalam Telinga Palsu

Matahari tampak malu-malu memperlihatkan wajahnya hari ini. Di langit, tampak dominasi warna putih daripada warna biru. Namun, suhu tetap saja panas. Kipas angin masih setia menemani mengusir panas. Saya masih dalam tengkurap. Kepala masih tegak dan mata masih awas. Pulpen masih di tangan kanan bersiap mencatat jika ada kalimat-kalimat penting yang didapati dalam buku. Sesekali buku itu dalam posisi berbaring atau berdiri mengikuti kemauan si empunya. Buku itu sampulnya berwarna merah dengan tulisan Telinga Palsu sebagai judul, ditulis dengan tinta berwarna silver. Di bawah judul tersebut mengikut tulisan “100 literasi pilihan koran Tempo Makassar 2014 ̶ 2016.” Di samping semua tulisan itu, ada gambar yang memperlihatkan sebagian tubuh, yaitu kepala, kuping, leher, bahu, lengan, dan dada. Gambar tersebut berwarna hitam, kecuali bagian kuping. Gambarnya hanya diambil dari sudut kiri ketika saya memandangnya.

Membaca buku tersebut membuat saya menemukan beberapa literasi yang memperlihatkan rupa Kota Makassar. Penggambaran tersebut lebih merupakan keresahan yang dialami ketika menetap di salah satu kota besar ini. Beberapa tulisan yang saya maksudkan itu terdiri atas empat literasi dari tiga penulis. Keempat literasi ini merangkum kejadian-kejadian yang mewarnai kota ini yang sedikit banyak pernah pula saya alami. Mari menengok satu per satu tulisan yang saya maksudkan.

1.“Mahasiswa, Sang Penutup Jalan “ Karya Aslan Abidin

Aslan Abidin ̶ dalam tulisan ini ̶ menuliskan kelakukan mahasiswa ketika melakukan demonstrasi yang kerap menutup jalan umum. Tulisan ini didasarkan pada pengalaman yang beliau alami di pekan kedua November 2014 di depan salah satu universitas swasta di Makassar. Beliau menganggap bahwa tindakan menutup jalan ketika berdemo adalah sebuah kekonyolan karena objek yang dituju dalam berdemonstrasi berada di ibu kota sana. Justru rakyat ̶ yang biasa diatasnamakan dalam demo ̶ yang dirugikan karena jalan ditutup sehingga menghambat aktivitas.

Beliau meragukan demonstrasi dengan penutupan jalan tersebut didasarkan pada pembelaan pada rakyat. Justru para demonstran dianggap sebagai agresor perampas hak jalan khalayak ramai. Ketika rakyat mulai melawan agresor, terjadilah tawuran antara mahasiswa dan masyarakat. Di lain sisi, bentrok mahasiswa dengan polisi yang berusaha membuka jalan juga pernah terjadi.

2. “Di Kota Ini, Anak Kita Bermain Api” Karya Anis Kurniawan

Dalam tulisan ini, Anis Kurniawan melihat ruang bermain yang tersedia di Makassar sangat kurang. Alhasil, tempat yang dijadikan anak untuk bermain adalah di jalan kompleks perumahan atau lorong-lorong yang tentu saja juga berfungsi sebagai jalan. Dengan tidak adanya sarana bermain, anak-anak akan di rumah bermain game melalui laptop, telepon seluler, atau playstation atau menonton televisi yang menyuguhkan program yang berbau kekerasan dan mistis, musik orang dewasa yang dilengkapi dengan goyangan, fashion, dan masih banyak lagi.

Anak-anak yang bermain di rumah akan terancam berjiwa kaku, egois, dan kehilangan kepekaan terhadap lingkungan. Hal itu bisa saja berimbas pada kesehatan mental dan fisik. Bukan hanya anak di kota yang mulai kehilangan tempat bermain. Namun, pola permainan anak di kampung sudah mulai bergeser pula ke game. Semua itu dimotori oleh teknologi. Beliau menyayangkan permainan seperti kelereng, petak umpet, wayang, layang-layang, perang-perangan, dan tali-temali kini sudah kurang diminati. Padahal, permainan-permainan tersebut memuat nilai-nilai seperti kebersamaan, kreativitas, keberanian, dan masih banyak lagi. Hal miris lainnya adalah Indonesia sebagai negara berkembang hanya memiliki ruang bermain anak rata-rata 2.000 meter persegi per anak, sedangkan Amerika dan Eropa yang merupakan negara maju memiliki sekitar 10.000 meter persegi per anak.

3. “Pengemis Profesional” Karya Shinta Febriany

Makassar sepertinya kota yang tidak luput dijamuri oleh pengemis. Dalam tulisan ini, Shinta Febriany pernah melihat seorang pengemis di depan sebuah toko. Namun, ia sangsi akan pengemis itu mengemis karena kelaparan dan kemiskinan.. Di tempat yang berbeda, ia pernah melihat pengemis dengan dandanan berbeda. Memakai baju koko, bersarung, dan berkopiah membawa celengan yang bertuliskan nama panti asuhan. Dia melihat ada tipu muslihat. Bukan tanpa alasan karena beberapa pengemis diberitakan memiliki kekayaan finansial. Mereka bisa memiliki sebuah mobil, rumah, dan kekayaan lainnya dengan mengemis. Kasus ini juga pernah dialami oleh Selandia Baru, tetapi bisa diatasi dengan kampanye yang berisi imbauan kepada warga kota agar berhenti memberi secara langsung kepada pengemis. Akan lebih baik jika diserahkan kepada lembaga amal. Di kota ini, beliau melihat bahwa kepengemisan terus berlangsung karena kita sebagai warga kota memberikan apa yang pengemis itu minta. Namun, sesungguhnya tindakan itu malah membuat kepengemisan semakin menjamur.

4. “Kota Sampah” Karya Shinta Febriany

Salah satu ikon kota Makassar adalah Pantai Losari. Dalam tulisan ini, Pantai Losari yang seharusnya menjadi kebanggaan warga Makassar dengan keindahan yang disuguhkan. Namun, dalam tulisan ini Pantai Losari memperlihatkan pemandangan yang jauh dari kata indah. Sampah-sampah banyak ditemukan di permukaan laut. Tak jauh berbeda dengan pelatarannya. Hal ini membuat Shinta Febriany merasa malu karena pada saat itu teman-temannya datang berkunjung ke Pantai Losari. Beragam peraturan telah dipasang. Namun, sayang sekali peraturan itu hanya pajangan karena tak dihiraukan oleh pengunjung. Ditambah lagi, kontainer sampah diletakkan di badan jalan, seberang rumah sakit. Tentu saja pemandangan ini menganggu, bahkan bisa membuat warga yang lewat terkena penyakit.

Beliau berharap membangun peradabann bisa dimulai dengan ajakan mencintai kota secara sungguh-sungguh sehingga menciptakan kota yang merdeka tanpa sampah ketimbang membangun peradaban Makassar lewat Pinisi dan gedung-gedung canggih seperti cita-cita Walikota yang disampaikan dalam pidatonya di sebuah perhelatan sastra.

Buku Puisi dan Perihal Jatuh Cinta


Puisi atau Novel. Ketika disuruh memilih untuk membaca puisi atau novel, mungkin sebagian orang (termasuk saya) lebih memilih untuk membaca novel. Salah satu alasannya karena novel berbentuk cerita yang tentu penokohan dan alurnya lebih kompleks dalam menyampaikan makna dibandingkan puisi. Karena hal tersebut, novel lebih banyak saya baca dibandingkan buku kumpulan puisi. Jika menghitung novel dan buku kumpulan puisi yang saya miliki, pasti novellah yang menang banyak.

Aktivitas membaca puisi sebenarnya suka saya lakukan, tetapi hanya membaca beberapa puisi yang saya suka, tidak pernah fokus membaca satu kumpulan puisi. Namun, dua tahun belakangan ini, saya jatuh cinta *eh pada sebuah buku kumpulan puisi. Buku kumpulan puisi tersebut judulnya adalah Kepalaku: Kantor Paling Sibuk di Dunia karya M. Aan Mansyur.

Buku kumpulan puisi tersebut memiliki ± 78 jumlah halaman dengan bentuk buku yang tidak terlalu besar. Hal ini membuat saya mudah untuk membawanya ke mana saja walaupun memakai tas kecil. Selain itu, yang membuat saya jatuh cinta pada buku kumpulan puisi tersebut adalah puisi-puisi yang ada di dalamnya. Puisi-puisi tersebut berjudul “Kepalaku: Kantor Paling Sibuk di Dunia”, “Sepasang Baju Penghangat”, dan “Surat Cinta yang Ganjil”. Ketiga puisi itu menjadi andalan saya di dalam buku kumpulan puisi tersebut. Ada baiknya kalau saya membagi isi yang saya dapatkan dari ketiga puisi tersebut supaya rasa penasaranmu hilang dan alasan jatuh cinta saya jelas, hehehe.

Puisi “Kepalaku: Kantor Paling Sibuk di Dunia” adalah puisi favorit saya. Puisi ini terletak di halaman pertama. Puisi ini bercerita tentang seorang tokoh yang hanya memikirkan satu orang (mungkin pacar) di dalam hidupnya. Kak Aan menganalogikan kepala yang tak pernah berhenti memikirkan seseorang dengan sebuah kantor yang tak pernah berhenti bekerja walaupun hari libur.

ya, percayalah. kepalaku: kantor paling sibuk di dunia.

anehnya, hanya seorang bekerja tiada lelah di sana.

 engkau saja.

Kutipan di atas menggunakan kata-kata yang sederhana. Tidak ada kata asing bagi telinga kita. Namun, kak Aan mengemasnya dengan sangat menarik. Saya membayangkan si aku yang dipenuhi dengan pikiran tentang pekerjaan yang harus segera diselesaikan, tentang rekan kerja yang menyebalkan, tentang menu makan siang yang membingungkan untuk dipilih. Namun, gara-gara seseorang (si engkau), pikiran-pikiran tersebut pun hilang berganti dengan pikiran  tentang si engkau. Siang dan malam selalu memikirkan si engkau. Akhirnya kepala si aku layaknya kantor tersibuk yang buka 24 jam seperti minimarket dan UGD.

Puisi ini juga menggambarkan perasaan yang mendalam. Setia, itulah perasaan mendalam yang saya maksudkan. Si aku hidup di dunia yang dipenuhi oleh miliaran manusia, bertemu dengan banyak orang setiap harinya, tetapi kepala si aku hanya didominasi oleh si engkau. Tidak ada tempat untuk orang lain dan tidak ada waktu memikirkan orang lain. Setia bukan? Zaman sekarang sulit/langka menemui seseorang yang setia. Jika kamu mendapatkan sesuatu yang langka, itu akan membekas dalam ingatanmu, bukan? Akan meninggalkan kesan yang mendalam.

Jika kamu punya pacar, puisi tersebut jangan dibacakan dulu kalau kamu belum siap menikah hehehe. Atau kalau pacarmu sedang marah coba bacakan bait di atas, mungkin marahnya akan reda.

Puisi yang berjudul “Sepasang Baju Penghangat” ada pada halaman delapan belas. Puisi ini juga adalah salah satu puisi menarik yang pernah saya baca. Sebenarnya, tokoh (aku) dalam puisi ini hanya mau mengatakan bahwa dia merindukan dan ingin memeluk si kamu. Namun, cara penyampaiannya tidak biasa karena dengan cara mengambinghitamkan baju penghangat. Kalau tidak percaya lihat saja kutipan puisi tersebut di bawah ini:

di lemariku ada satu baju penghangat 

yang bagian dalamnya rindu memeluk 

tubuhku dan bagian luarnya rindu dipeluk

tubuhmu

Puisi tersebut boleh dibacakan untuk pacarmu, tetapi jangan mempraktikkannya ya, kan belum muhrim, hehehe.

Puisi terakhir berjudul “Surat Cinta yang Ganjil” ini ada di halaman 21 ̶ 22. Di halaman 21 ada 25 baris. Setiap barisnya diberi nomor dari 1 ̶ 25. Jika kita baca baris pertama sampai terakhir, puisi tersebut bermakna perpisahan dan kebencian. Namun, ingat ya judulnya adalah “Surat Cinta yang Ganjil” jadi saya hanya membaca baris yang bernomor ganjil. Maknanya sangat berbeda ketika membaca semua baris. Ini serius. Tidak percaya? Silakan dibaca.

Karena menyukai beberapa puisi di dalamnya, buku ini sering saya bawa ke mana-mana. Ketika bertemu teman, saya membawanya untuk berjaga-jaga apabila saya harus menunggu. Membaca puisi di dalam buku tersebut membuat saya tidak bosan  dan jengkel menunggu karena saya selalu membayangkan bahwa si engkau dalam puisi “Kepalaku: Kantor Paling Sibuk di Dunia” adalah saya. Saya yang terus dipikirkan orang lain. Saya menjadi dominan dalam kepala orang tersebut. Membayangkannya saja saya sudah bahagia. Seketika bosan dan jengkel berubah jadi bahagia. Buku ini adalah moodboster.

Saat saya sedih, merasa tidak ada yang peduli dengan saya buku ini selalu ada. Ketika membaca buku ini (khususnya puisi “Surat Cinta yang Ganjil”) saya merasa bahwa di tempat yang jauh ada seseorang yang peduli dan menyayangi serta mengharapkan kebahagiaan saya. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk bersedih.

Saat senang pun, seperti saat selesai makan atau saat tulisan telah diposting di blog, buku ini juga selalu ada. Membaca buku ini (khususnya puisi “Sepasang Baju Penghangat”) saya merasa bersyukur karena saya masih bisa makan dengan baik dan menyelesaikan tulisan dibandingkan si aku dalam puisi tersebut yang sedang merindukan seseorang. Sungguh, makan dengan perasaan merindukan orang lain itu tidak enak.

Bukankah kita akan bahagia apabila seseorang atau sesuatu yang dicintai selalu ada bersama kita dalam keadaan apa pun? Dan buku ini selalu ada. Jadi, saya sudah bahagia. Lalu, apalagi yang saya cari? Ya, tinggal pembaca puisinya yang mesti saya cari hehe.